Assalamu'alaikum...!!! "...Welcome to my blog..."

Minggu, 18 Desember 2011

MUSLIMAH CERDAS, SIAPA TAKUT??? ( sebuah cerpen )

“ Seorang istri itu wajib untuk taat pada suaminya selama tidak melanggar larangan Allah “, kata - kata ustadz Sholikhin dalam pengajian minggu lalu itu masih terngiang-ngiang di kepalaku, berputar-putar laksana gasing yang seakan tidak mau lenyap dari pikiranku. Sebuah kalimat sederhana namun seperti anak panah yang langsung menancap di hatiku. Sebuah petuah singkat yang menimbulkan getaran hebat di dalam qalbu.

Mendadak bayangan ikhwan itu kembali hadir di pelupuk mata. Seorang ikhwan yang akhir-akhir ini telah menghiasi hari-hariku dengan bisikan kata-kata cinta yang telah menusuk ke dalam jiwa.
Naufal. Ya, itulah namanya. Seorang laki-laki sholeh yang telah mengkhitbahku. Sebenarnya aku sudah lama mengenalnya. Kami sama-sama berada dalam sebuah organisasi remaja masjid di desaku. Tubuhnya tinggi. Kulitnya putih bersih berkat cucuran air wudzu yang selalu mengguyurnya.Wajahnya bercahaya karena cahaya keimanan yang ada di dalam dadanya. Kata-katanya bersahaja. Dia bukanlah tipe orang yang suka membual dan bercanda, namun kata-katanya laksana guyuran air surga yang bisa menyejukkan siapapun yang mendengarnya. Tidak mengherankan, semua itu telah menyihir hatiku dan membangkitkan angan – anganku. Bahagia sekali rasanya jika bisa menjadi seorang bidadari yang selalu melayaninya.

Namun, sayang seribu sayang. Dia datang bukan di saat yang tepat. Saat itu aku masih kuliah semester 1 di sebuah perguruan tinggi terkenal di Indonesia. Aku tidak mungkin bisa menikah secepat ini. Berumah tangga pasti akan membuatku tidak bisa fokus dalam belajar untuk menggapai mimpi, mencabangkan pikiranku ke dalam berbagai masalah baru yang harus aku hadapi.

“ Aku bersedia menunggumu sampai lulus kuliah, Ukhti,” katanya.

“Lhoh… Kenapa? Bukankah itu masih terlalu lama? Tidak adakah keinginan di hatimu untuk mencari
akhwat lain?” jawabku kaget.

“Tidak, Ukhti. Aku ingin Kamu yang menjadi bidadariku di dunia, menemaniku dalam berjuang mencapai ridza-Nya, dan menjadi permaisuriku di surga-Nya,” jawabnya dengan suara bergetar.

“Subhanallah.!!!“ hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Sebuah kata yang mewakili kekaguman akan ketulusan cintanya, mengalir bersama rasa syukur atas nikmat cinta yang telah dianugrahkan oleh Yang Maha Kuasa.

“Namun, aku hanya ingin satu hal darimu, Ukhti,” katanya lagi memecah kebisuan.

“ Apa itu, Akh?“ jawabku penuh penasaran.

“Jika nanti Kamu menjadi istriku, aku tidak akan mengizinkanmu untuk bekerja,” jawabnya mantap.

“Deg… Lhoh…!!! Emang kenapa? Bukankah tidak ada larangan di dalam islam bagi seorang istri untuk bekerja?” jantungku seakan berhenti mendengar kata-katanya. Sejak awal, tujuan aku kuliah adalah untuk bisa bekerja dan mencari uang, bisa mengubah kehidupan keluargaku yang serba kekurangan.

“ Maaf, Ukhti! Mungkin kata – kataku tadi membuatmu terkejut. Memang secara langsung tidak ada. Aku hanya ingin istriku menjadi istri sholihah yang bisa menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik, yaitu mengurus keluarga, mendidik anak, dan melayani suami. Aku tidak mau gara-gara istriku kecapekan bekerja, suami tidak terlayani, pekerjaan rumah terbengkalai, serta anak-anak tidak terkendali. Cukuplah aku yang mencari nafkah karena itu adalah kewajiban dari suami,” katanya menjelaskan.

“ Fareeeeeenaaaaa....!!!!” tiba-tiba terdengar teriakan Vinsya yang membuyarkan lamunanku.

Spontan aku mengusap air mataku yang dari tadi aku biarkan terjatuh.

“ Astaghfirullahhal'adzim... Ngagetin aja kamu Vin,” kataku.

“Kamu tuh! Ngelamun aja kerjaannya. Dari tadi aku panggil-panggil tidak menjawab,” katanya agak marah.

“ Oh yeah...? Gitu ya...? Maaf deh..!“ jawabku menyesal.

“Emang ngelamunin apaan sih? Sampai nangis segala. Kamu ada masalah? Cerita dong!” katanya penuh perhatian.

“ Aku gak papa kog Vin,“ jawabku mengelak.

Vinsya lalu duduk disampingku, menatap mataku erat – erat. “ Kamu kenapa sih, Vin? Aku ini sahabatmu. Aku perhatikan kamu akhir – akhir ini banyak melamun. Tatapan matamu kosong. Kamu seperti orang yang gak punya semangat untuk maju dan berprestasi. Aku jarang melihatmu menekuni buku-buku kuliah yang dulu selalu Kamu lakukan. Aku tadi melihat di papan pengumuman, nilai-nilai ujianmu jelek semua. Di manakah gerangan semangatmu yang dulu, sahabatku? Di mana mimpi-mimpimu? Apa kamu lupa dengan harapan orang tuamu? Ada apa denganmu sebenarnya?”

Aku hanya bisa menunduk tergugu dalam tangis. Memang, semua hal yang dibicarakan Vinsya itu tidak ada yang meleset. Semuanya benar.

Vinsya langsung memelukku, membenamkan kepalaku ke dadanya, membiarkan air mataku membasahi jilbab birunya. “ Menangislah sepuasmu, Na. Tumpahkanlah segala keluh kesahmu. Tangan ini akan selulu siap menerima masalahmu. Pundak ini akan selalu sedia menampung air matamu. Namun, jika kamu tidak keberatan, bagilah masalahmu padaku. Izinkan aku menanggung setengah dari beban yang menghimpit dadamu.”

“Makasih banyak, Vin. Kamu memang selalu ada buatku,“ kataku terisak.

“Vin, untuk apa sih kita mencari ilmu tinggi-tinggi? Buat apa sih kita kuliah?” tanyaku mulai berkisah.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” jawabnya bingung.

Melihatku hanya terdiam, dia pun menjawab, “Untuk mencari ilmu lah, Na.Agar kita pintar sehingga tidak dibodohi oleh orang lain bahkan negara lain. Agar kita bisa mencapai mimpi-mimpi kita. Agar kita bisa mengubah kehidupan orang tua kita“.

“ Aku dari dulu punya cita-cita bisa menjadi seorang pengusaha, Vin. Punya banyak uang. Bisa membantu saudara-saudara kita yang kesusahan. Bisa menghajikan orang tuaku. Namun, jika nantinya suamiku tidak mengizinkan aku untuk bekerja, lantas buat apa juga aku kuliah? Jika nantinya aku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, mengurus rumah, suami dan anak-anak, untuk apa aku kuliah,Vin? Rasanya ilmuku tidak akan berguna nantiya. Semuanya akan sia-sia,“ kataku terisak.

“ Lhoh... Kog kamu ngomong kayak gitu? Emang kamu yakin akan menikah dengan Naufal itu?” tanyanya penuh selidik

“ Aku sungguh mencintainya, Vin. Aku sangat mencintinya. Aku sangat berharap dia nantinya bisa menjadi imam bagiku, membimbingku menuju ridza-Nya. Aku gak sanggup jika harus melihat dia menikah dengan wanita lain, Vin.”, jawabku terisak lagi,” jawabku mantap.

Vinsya terlihat berpikir sejenak. “Kalau begitu, ayo ikut aku, Na!”

“ Kemana?” jawabku bingung.

“ Sudah, ikut saja.” Vinsya langsung menyeret tanganku dan memaksaku naik Hondanya. Dia tidak menghiraukan diriku yang kebingungan dibuatnya. “Sudah. Tidak usah banyak tanya. Kamu nurut aja sama aku. Santai saja. Kamu gak akan aku apa-apain kog. Percaya deh!”

“ Huhfff....!!!“ aku hanya bisa pasrah. Tidak ada jalan lain.

Setengah jam kemudian, sampailah kami pada tempat yang dituju oleh Vinsya. Sebuah tempat yang membuat wajahku tertunduk dan merasa terenyuh. Bagaimana tidak? Di tempat itu, aku melihat dua orang anak yang tidak seberuntung kita, berjuang melawan kerasnya hidup, berjuang menggapai sebuah mimpi yang mungkin hampir setiap orang mencemoohnya. Akan tetapi mereka tidak peduli dengan keadaan mereka. Kecacatan tubuh adalah taqdir Allah yang harus mereka terima dengan ikhlas. Tak perlu disesali, tak perlu ditangisi, bahkan harus disyukuri sebagai anugrah dari sang Pengasih.

Tidak jauh dari mereka terlihat seorang ibu berumur 30-an tahun yang tidak pernah lelah menyemangati mereka, membisikkan kata-kata motivasi kepada mereka, serta mengajari mereka akan makna kehidupan yang sebenarnya. Dari wajahnya sama sekali tidak terlihat kekecewaan. Bahkan, hanya senyuman yang selalu keluar dari bibir indahnya.

Aku malu. Sungguh aku malu pada mereka. Aku malu pada semangat mereka. Aku malu kepada perjuangan panjang mereka. Di sini, sungguh aku merasa bukan siapa – siapa. Aku merasa seperti sampah yang jauh lebih rendah daripada mereka. Sungguh aku malu ya Allah. Maafkan aku yang jarang mensyukuri nikmat-Mu. Ampuni aku yang telah berpikiran sepicik itu. Maafkan aku ya Allah.

Ayah, Ibu, maafkanlah anakmu ini. Mungkin kalian akan kecewa jika melihatku seperti ini. Aku janji, aku akan menjadi yang terbaik. Aku akan lakukan yang terbaik buat hari ini, buat kualiahku, buat masa depanku, buat suami dan anak – anakku, serta buat segalanya. Jika memang suamiku nanti tidak memperbolehkan aku untuk bekerja, bukan berarti aku harus bodoh. Mendidik anak adalah tugas yang sangat berat dan sangat mulia. Butuh banyak ilmu untuk menjalankannya. Aku harus rajin belajar. Aku harus menggapai mimpi-mimpiku.

“Huuuhfff...!!!” aku menarik nafas dalam-dalam.

“ (tersenyum) Kamu mengerti maksudku, Na” , kata Vinsya

“ Pasti sahabatku. Thanks for all”, kataku seraya membalas senyumnya.

3 komentar:

  1. fifthy2 ukh... Hehe
    Bagus gak ukh tulisannya... Mhon kritik sarannya dung... Maklum baru pemula...

    BalasHapus
  2. sudah bagus ko, cuma endingnya coba lebih digregetin, biar dapet feelnya.. semangat yo! kita sama2 belajar :P

    BalasHapus