Assalamu'alaikum...!!! "...Welcome to my blog..."

Senin, 27 Februari 2012

FLP, I'm coming...

Subhanallah walhamdulillah, rasanya tidak ada kata yang lebih pantas untuk terucap dari lisan ini selain kata-kata indah itu. Ketika sebuah impian mulai menampakkan keindahannya,sungguh, hanya kebahagiaan yang mengalir ke dalam hati ini.

Kini, aku menemukan sesuatu yang baru dalam diriku. Sebuah tempat yang sangat aku rindukan, di mana aku bisa berkumpul bersama orang-orang hebat dengan segudang impian dan cita-cita dalam diri mereka.

Forum Lingkar Pena. Mulai detik ini, aku berhasil menjadi bagian darinya. Mencoba untuk ikud berjuang dalam dakwah, menggoreskan pena dan tinta, demi tegaknya islam di dunia. Subhanallah, rasanya masih seperti mimpi.

Masih terngiang rasanya detik-detik perjuangan itu. Ketika membuat dua buah karya, ketika menjawab sederetan pertanyaan dalam wawancara, berkompetisi melawan 83 peserta lainnya.

Terima kasih ya Robbi. Semoga, inilah jalan terbaik yang harus aku lalui. :)

Rabu, 01 Februari 2012

Keluargaku, Idamanku



Malam itu, langit terlihat sangat gelap dan muram. Tidak ada bulan dan bintang yang meneranginya. Hujan turun dengan lebatnya. Mengguyurkan air dari langit dengan derasnya. Sesekali terdengar suara guruh yang memekakkan telinga. Langit malam ini seakan ikut bersedih seiring dengan terus mengalirnya air mataku. Hatiku perih sekali melihat kondisi rumah yang selalu terisi oleh keributan. Rumahku seakan terhalang oleh ketentraman, ketenangan, dan kebahagiaan.

Pikiranku kembali melayang. Kejadian sore tadi masih terekam jelas dalam memoriku, sangat menyesakkan dan membuat hati ini hancur berserakan.

“Heh, Pak, banguuun! Tidur melulu, Orang kog seharian kerjaannya cuma tidur.” kata ibuku kesal.

“Bu, apa-apaan sih Kamu? Gangguan orang saja. Aku itu capek. Sana pergi! Jangan ganggu aku!” jawab bapakku marah.

“Capek? Seharian cuma tidur saja kog bisa caek? Suami macam apa Kamu? Harusnya suami itu kerja, cari uang buat anak istri. Lah, Kamu malah tidur-tiduran dan enak-enakan. Dasar pemalas!” kata ibuku tambah jengkel.

“Bu, kalau ngomong itu dijaga ya mulutnya. Kamu kan tahu, kemarin-kemarin aku itu juga kerja, membanting tulang. Kamu juga kan yang menerima uang hasil kerja payahku? “ jawab bapakku.

“Uang apa? Uang segitu mah buat makan sehari saja kurang, Pak!. Makanya, kalau kerja itu pakai otak, jangan pakai dengkul! Jadi suami kog bodohnya minta ampun,” kata ibuku lagi

“Plaaaaak…” sebuah tamparan keras mengenai pipi ibuku. “ Jaga mulutmu!” kata bapakku penuh api kemarahan.

“Cukuuuup, Pak, Bu! Hentikan. Jangan bertengkar lagi!” kataku sambil berlari memeluk ibuku yang tengah bercucuran air mata.


“Kriiiing…Kriiiing..,” hp ku berdering dan membuyarkan semua lamunanku.

Aku segera membuka hp ku. Sebuah pesan masuk ke inbox ku.

“Jika Engkau merasa bahwa segala hal yang ada di sekitarmu terasa gelap dan pekat, tidakkah
Dirimu merasa bahwa Engkaulah yang dikirim oleh Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka? Berhentilah mengeluhkan kegelapan itu, sebab sinarmulah yang sedang mereka nantikan! Maka, berkilaulah!”

Isi pesan pendek itu benar-benar menyejukkan. Rangkaian kata-kata indah nan penuh makna di dalamnya serasa angin sejuk yang mengalir ke dalam relung hatiku. Mendadak, timbullah semangat dakwah dalam diriku. Aku bertekad harus memperingatkan orang tuaku, menjadikan keluarga ini kembali tentram dan bahagia.


Keesokan harinya…

“Pak, Bu… Kita berangkat ke pengajian yuuk. Ada kajian bagus lho di masjid sebelah. Temanya tentang keluarga sakinah.” kataku tersenyum penuh harap.

“Malas banget ah. Buang-buang waktu saja. Aku lagi sibuk.” jawab kedua orang tuaku hampir bersamaan.

“Yaaach, Bapak, Ibu. Kan tidak ada ruginya kalau kita ngaji. Ayolah, Pak,Bu! Sekali ini saja.” jawabku mencoba membujuk.

“Cukup, Erna! Pintar ya kamu sekarang. Dah berani maksa-maksa orang tua segala. Pergi saja sana sendiri. Kamu itu tahu apa?” kata ayahku dengan suara meninggi.

Aku langsung bergegas meninggalkan mereka berdua. Butiran-butiran air mataku hampir menetes mendengar kata-kata pedas dari bapakku tadi. “Ya Allah, kuatkan aku. Tolong, jangan Kau murkai kedua orang tuaku. Apa yang harus aku lakukan untuk menyadarkan mereka berdua ya Rabbi?” ratapku pilu.


Sepulang dari pengajian, aku kembali disambut dengan kejadian menyesakkan itu lagi. Teriakan, makian, kata-kata kasar, bahkan tamparan, hadir tepat di depan mataku. Aku urungkan niat untuk masuk ke rumah, namun suara mereka masih sangat jelas terdengar dari luar rumah.

Ingin sekali aku menangis mendengar pertengkaran mereka. Hatiku teriris. Ternyata, ibuku tidak bisa memasak hari ini. Beras habis, sedangkan bapakku sendiri masih belum kerja. Bapakku marah-marah karena menuduh ibu tidak bisa mengatur keuangan.

“Ya Rabbi, apa yang harus aku perbuat?” ratapku dalam hati.

Mendadak aku teringat pada uang dalam tabunganku. “Bukankah masih ada uang di sana? Ya, aku harus segera mengambilnya dan memberikannya pada kedua orang tuaku.”
Segera aku putar balik kemudi sepeda motorku. Bergegas aku pergi ke mesin ATM. Empat lembar uang lima puluh ribuan aku ambil. Selanjutnya, aku langsung balik ke rumahku.

Sesampainya di rumah, mereka masih terlihat asyik bertengkar.Aku masuk, pelan-pelan aku dekati mereka berdua. Sejenak, aku pandangi wajah bapak dan ibuku bergantian dengan penuh tatapan kasih sayang. Wajah yang kini terlihat lusuh dan muram, penuh dengan kesedihan. Aku rogoh saku celanaku. Aku letakkan empat lembar uang lima puluh ribuan pada jemari kasar ibuku.”Bu, terimalah uang ini! Tidak ada gunanya kalian berdua bertengkar terus-menerus.” kataku sambil tersenyum.
Ibuku terdiam. Ayahku pun juga terdiam. Sayup-sayup aku melihat genangan air di kedua mata sayu orang tuaku.

“Nak, darimana kamu mendapatkan uang sebanyak ini?” Tanya ibuku dengan suara bergetar.

“Itu uang tabunganku Bu,Pak. Pakailah! Jujur, aku tidak sanggup melihat keluarga kita kelaparan padahal aku masih mempunyai simpanan uang. Biarlah. Insyaallah nanti Allah yang akan menggantinya.” jawabku haru.

Serentak, bapak dan ibuku memelukku erat sambil membisikkan sebuah kalimat yang telah lama aku rindukan.

“ Terima kasih, Nak. Ibu sayang sekali sama kamu,” kata ibuku.

“Bapak juga sayang sama kamu, Erna. Kamu benar-benar anak yang baik.” kata bapakku.

“Aku juga sayang banget sama Bapak dan Ibu. Hmmm, Bapak, Ibu, bolehkah aku minta sesuatu?”
tanyaku kemudian

“Apa itu,Nak?” jawab bapak dan ibuku hampir bersamaan.

Aku menggenggam jemari ibuku dengan tangan kananku. Aku menggenggam jemari bapakku dengan tangan kiriku. Bergantian, aku tatap kedua mata mereka. Penuh harap, aku satukan kedua jemari itu, seraya berbisik, “Bapak, Ibu, aku tidak ingin melihat kalian bertengkar lagi. Berbaikanlah Bu,Pak! Kita sedang diuji sama Allah. Kita memang harus banyak bersabar menghadapi kondisi perekonomian keluarga kita. Bapak dan Ibu juga harus mulai mengingat Allah kembali. Aku sangat merindukan kebahagiaan, Bu,Pak.”

Ayah dan ibuku saling berpandangan. Ada tatapan cinta dan kasih sayang di kedua mata mereka. Kulihat mereka lalu berpelukan. Saling mengungkapkan penyesalan masing-masing.

Alhamdulillah, aku sangat bersyukur. Tak kuasa air mataku mengalir penuh haru. Terima kasih, ya Allah. Semoga hari ini menjadi awal yang baik buat keluargaku.

Minggu, 18 Desember 2011

MUSLIMAH CERDAS, SIAPA TAKUT??? ( sebuah cerpen )

“ Seorang istri itu wajib untuk taat pada suaminya selama tidak melanggar larangan Allah “, kata - kata ustadz Sholikhin dalam pengajian minggu lalu itu masih terngiang-ngiang di kepalaku, berputar-putar laksana gasing yang seakan tidak mau lenyap dari pikiranku. Sebuah kalimat sederhana namun seperti anak panah yang langsung menancap di hatiku. Sebuah petuah singkat yang menimbulkan getaran hebat di dalam qalbu.

Mendadak bayangan ikhwan itu kembali hadir di pelupuk mata. Seorang ikhwan yang akhir-akhir ini telah menghiasi hari-hariku dengan bisikan kata-kata cinta yang telah menusuk ke dalam jiwa.
Naufal. Ya, itulah namanya. Seorang laki-laki sholeh yang telah mengkhitbahku. Sebenarnya aku sudah lama mengenalnya. Kami sama-sama berada dalam sebuah organisasi remaja masjid di desaku. Tubuhnya tinggi. Kulitnya putih bersih berkat cucuran air wudzu yang selalu mengguyurnya.Wajahnya bercahaya karena cahaya keimanan yang ada di dalam dadanya. Kata-katanya bersahaja. Dia bukanlah tipe orang yang suka membual dan bercanda, namun kata-katanya laksana guyuran air surga yang bisa menyejukkan siapapun yang mendengarnya. Tidak mengherankan, semua itu telah menyihir hatiku dan membangkitkan angan – anganku. Bahagia sekali rasanya jika bisa menjadi seorang bidadari yang selalu melayaninya.

Namun, sayang seribu sayang. Dia datang bukan di saat yang tepat. Saat itu aku masih kuliah semester 1 di sebuah perguruan tinggi terkenal di Indonesia. Aku tidak mungkin bisa menikah secepat ini. Berumah tangga pasti akan membuatku tidak bisa fokus dalam belajar untuk menggapai mimpi, mencabangkan pikiranku ke dalam berbagai masalah baru yang harus aku hadapi.

“ Aku bersedia menunggumu sampai lulus kuliah, Ukhti,” katanya.

“Lhoh… Kenapa? Bukankah itu masih terlalu lama? Tidak adakah keinginan di hatimu untuk mencari
akhwat lain?” jawabku kaget.

“Tidak, Ukhti. Aku ingin Kamu yang menjadi bidadariku di dunia, menemaniku dalam berjuang mencapai ridza-Nya, dan menjadi permaisuriku di surga-Nya,” jawabnya dengan suara bergetar.

“Subhanallah.!!!“ hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Sebuah kata yang mewakili kekaguman akan ketulusan cintanya, mengalir bersama rasa syukur atas nikmat cinta yang telah dianugrahkan oleh Yang Maha Kuasa.

“Namun, aku hanya ingin satu hal darimu, Ukhti,” katanya lagi memecah kebisuan.

“ Apa itu, Akh?“ jawabku penuh penasaran.

“Jika nanti Kamu menjadi istriku, aku tidak akan mengizinkanmu untuk bekerja,” jawabnya mantap.

“Deg… Lhoh…!!! Emang kenapa? Bukankah tidak ada larangan di dalam islam bagi seorang istri untuk bekerja?” jantungku seakan berhenti mendengar kata-katanya. Sejak awal, tujuan aku kuliah adalah untuk bisa bekerja dan mencari uang, bisa mengubah kehidupan keluargaku yang serba kekurangan.

“ Maaf, Ukhti! Mungkin kata – kataku tadi membuatmu terkejut. Memang secara langsung tidak ada. Aku hanya ingin istriku menjadi istri sholihah yang bisa menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik, yaitu mengurus keluarga, mendidik anak, dan melayani suami. Aku tidak mau gara-gara istriku kecapekan bekerja, suami tidak terlayani, pekerjaan rumah terbengkalai, serta anak-anak tidak terkendali. Cukuplah aku yang mencari nafkah karena itu adalah kewajiban dari suami,” katanya menjelaskan.

“ Fareeeeeenaaaaa....!!!!” tiba-tiba terdengar teriakan Vinsya yang membuyarkan lamunanku.

Spontan aku mengusap air mataku yang dari tadi aku biarkan terjatuh.

“ Astaghfirullahhal'adzim... Ngagetin aja kamu Vin,” kataku.

“Kamu tuh! Ngelamun aja kerjaannya. Dari tadi aku panggil-panggil tidak menjawab,” katanya agak marah.

“ Oh yeah...? Gitu ya...? Maaf deh..!“ jawabku menyesal.

“Emang ngelamunin apaan sih? Sampai nangis segala. Kamu ada masalah? Cerita dong!” katanya penuh perhatian.

“ Aku gak papa kog Vin,“ jawabku mengelak.

Vinsya lalu duduk disampingku, menatap mataku erat – erat. “ Kamu kenapa sih, Vin? Aku ini sahabatmu. Aku perhatikan kamu akhir – akhir ini banyak melamun. Tatapan matamu kosong. Kamu seperti orang yang gak punya semangat untuk maju dan berprestasi. Aku jarang melihatmu menekuni buku-buku kuliah yang dulu selalu Kamu lakukan. Aku tadi melihat di papan pengumuman, nilai-nilai ujianmu jelek semua. Di manakah gerangan semangatmu yang dulu, sahabatku? Di mana mimpi-mimpimu? Apa kamu lupa dengan harapan orang tuamu? Ada apa denganmu sebenarnya?”

Aku hanya bisa menunduk tergugu dalam tangis. Memang, semua hal yang dibicarakan Vinsya itu tidak ada yang meleset. Semuanya benar.

Vinsya langsung memelukku, membenamkan kepalaku ke dadanya, membiarkan air mataku membasahi jilbab birunya. “ Menangislah sepuasmu, Na. Tumpahkanlah segala keluh kesahmu. Tangan ini akan selulu siap menerima masalahmu. Pundak ini akan selalu sedia menampung air matamu. Namun, jika kamu tidak keberatan, bagilah masalahmu padaku. Izinkan aku menanggung setengah dari beban yang menghimpit dadamu.”

“Makasih banyak, Vin. Kamu memang selalu ada buatku,“ kataku terisak.

“Vin, untuk apa sih kita mencari ilmu tinggi-tinggi? Buat apa sih kita kuliah?” tanyaku mulai berkisah.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” jawabnya bingung.

Melihatku hanya terdiam, dia pun menjawab, “Untuk mencari ilmu lah, Na.Agar kita pintar sehingga tidak dibodohi oleh orang lain bahkan negara lain. Agar kita bisa mencapai mimpi-mimpi kita. Agar kita bisa mengubah kehidupan orang tua kita“.

“ Aku dari dulu punya cita-cita bisa menjadi seorang pengusaha, Vin. Punya banyak uang. Bisa membantu saudara-saudara kita yang kesusahan. Bisa menghajikan orang tuaku. Namun, jika nantinya suamiku tidak mengizinkan aku untuk bekerja, lantas buat apa juga aku kuliah? Jika nantinya aku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, mengurus rumah, suami dan anak-anak, untuk apa aku kuliah,Vin? Rasanya ilmuku tidak akan berguna nantiya. Semuanya akan sia-sia,“ kataku terisak.

“ Lhoh... Kog kamu ngomong kayak gitu? Emang kamu yakin akan menikah dengan Naufal itu?” tanyanya penuh selidik

“ Aku sungguh mencintainya, Vin. Aku sangat mencintinya. Aku sangat berharap dia nantinya bisa menjadi imam bagiku, membimbingku menuju ridza-Nya. Aku gak sanggup jika harus melihat dia menikah dengan wanita lain, Vin.”, jawabku terisak lagi,” jawabku mantap.

Vinsya terlihat berpikir sejenak. “Kalau begitu, ayo ikut aku, Na!”

“ Kemana?” jawabku bingung.

“ Sudah, ikut saja.” Vinsya langsung menyeret tanganku dan memaksaku naik Hondanya. Dia tidak menghiraukan diriku yang kebingungan dibuatnya. “Sudah. Tidak usah banyak tanya. Kamu nurut aja sama aku. Santai saja. Kamu gak akan aku apa-apain kog. Percaya deh!”

“ Huhfff....!!!“ aku hanya bisa pasrah. Tidak ada jalan lain.

Setengah jam kemudian, sampailah kami pada tempat yang dituju oleh Vinsya. Sebuah tempat yang membuat wajahku tertunduk dan merasa terenyuh. Bagaimana tidak? Di tempat itu, aku melihat dua orang anak yang tidak seberuntung kita, berjuang melawan kerasnya hidup, berjuang menggapai sebuah mimpi yang mungkin hampir setiap orang mencemoohnya. Akan tetapi mereka tidak peduli dengan keadaan mereka. Kecacatan tubuh adalah taqdir Allah yang harus mereka terima dengan ikhlas. Tak perlu disesali, tak perlu ditangisi, bahkan harus disyukuri sebagai anugrah dari sang Pengasih.

Tidak jauh dari mereka terlihat seorang ibu berumur 30-an tahun yang tidak pernah lelah menyemangati mereka, membisikkan kata-kata motivasi kepada mereka, serta mengajari mereka akan makna kehidupan yang sebenarnya. Dari wajahnya sama sekali tidak terlihat kekecewaan. Bahkan, hanya senyuman yang selalu keluar dari bibir indahnya.

Aku malu. Sungguh aku malu pada mereka. Aku malu pada semangat mereka. Aku malu kepada perjuangan panjang mereka. Di sini, sungguh aku merasa bukan siapa – siapa. Aku merasa seperti sampah yang jauh lebih rendah daripada mereka. Sungguh aku malu ya Allah. Maafkan aku yang jarang mensyukuri nikmat-Mu. Ampuni aku yang telah berpikiran sepicik itu. Maafkan aku ya Allah.

Ayah, Ibu, maafkanlah anakmu ini. Mungkin kalian akan kecewa jika melihatku seperti ini. Aku janji, aku akan menjadi yang terbaik. Aku akan lakukan yang terbaik buat hari ini, buat kualiahku, buat masa depanku, buat suami dan anak – anakku, serta buat segalanya. Jika memang suamiku nanti tidak memperbolehkan aku untuk bekerja, bukan berarti aku harus bodoh. Mendidik anak adalah tugas yang sangat berat dan sangat mulia. Butuh banyak ilmu untuk menjalankannya. Aku harus rajin belajar. Aku harus menggapai mimpi-mimpiku.

“Huuuhfff...!!!” aku menarik nafas dalam-dalam.

“ (tersenyum) Kamu mengerti maksudku, Na” , kata Vinsya

“ Pasti sahabatku. Thanks for all”, kataku seraya membalas senyumnya.